
Dalam pandangan psikologi, perilaku memukul pada anak dapat disebabkan oleh beberapa faktor yang saling terkait. Berikut penjelasan lengkapnya:
- Regulasi Emosi yang Belum Matang
Anak-anak, terutama usia balita, belum memiliki kemampuan mengelola emosi intens seperti marah, frustrasi, atau kesal. Mereka mungkin memukul sebagai respons otomatis terhadap emosi yang tidak teratasi. Developmental psychology menyebutkan bahwa bagian otak prefrontal cortex (bertanggung jawab atas pengendalian diri) masih berkembang hingga remaja. - Komunikasi yang Terbatas
Anak usia dini seringkali belum menguasai keterampilan verbal untuk menyampaikan kebutuhan atau ketidaknyamanan. Memukul menjadi cara fisik untuk mengungkapkan hal tersebut, seperti protes saat mainan diambil (terkait tahap perkembangan bahasa). - Pencarian Perhatian
Perilaku negatif seperti memukul bisa menjadi strategi untuk menarik perhatian orang dewasa, terutama jika respons yang diterima sebelumnya bersifat intens (misalnya, orang tua marah atau panik). Prinsip operant conditioning (B.F. Skinner) menjelaskan bahwa perhatian negatif pun dapat memperkuat perilaku ini. - Imitasi dan Pembelajaran Sosial
Menurut Social Learning Theory (Albert Bandura), anak meniru perilaku agresif dari lingkungan, baik melalui interaksi langsung (contoh: orang tua yang kasar) atau media (film/kartun dengan kekerasan). Jika mereka melihat orang lain diuntungkan dari agresi (misal: mendapatkan mainan), mereka mungkin menirunya. - Tahap Perkembangan Eksploratif
Pada fase toddler, anak mulai memahami sebab-akibat. Memukul bisa menjadi eksperimen untuk melihat reaksi orang lain atau lingkungan (“Apa terjadi jika aku memukul?”). Ini bagian dari proses memahami batasan sosial. - Masalah Sensorik atau Kondisi Neurologis
Anak dengan gangguan pemrosesan sensorik (SPD) atau kondisi seperti ADHD/autisme mungkin memukul akibat respons terhadap sensory overload (kebisingan, keramaian) atau kebutuhan stimulasi sensorik. - Upaya Mengontrol Lingkungan
Memukul bisa menjadi cara anak merasa berkuasa dalam situasi yang membuatnya tidak berdaya (misal: saat dipaksa berbagi). Ini terkait kebutuhan psikologis akan otonomi (self-determination theory). - Ekspresi Trauma atau Stres Emosional
Perilaku agresif mungkin tanda kecemasan, trauma, atau perubahan drastis (seperti perceraian orang tua, kelahiran saudara). Psikodinamika melihat ini sebagai manifestasi ketidaksadaran akan konflik internal. - Penguatan Lingkungan
Jika memukul berhasil memenuhi keinginan anak (misal: teman mengembalikan mainan), perilaku ini akan diulang (reinforcement dalam teori behaviorisme). - Pola Asuh atau Dinamika Keluarga
Lingkungan rumah yang kaku, permisif, atau penuh konflik dapat memicu agresi. Misalnya, orang tua yang jarak fisik/emosional mungkin tidak mengajarkan cara sehat mengatasi emosi.
Catatan Penting:
- Perilaku sesekali bisa normal pada fase tertentu, terutama usia 2-4 tahun.
- Jika frekuensi tinggi, disertai gejala lain (mudah marah, sulit tidur), perlu evaluasi profesional untuk mengecek kemungkinan gangguan perilaku (seperti ODD) atau trauma.
Rekomendasi:
- Ajarkan cara mengekspresikan emosi dengan kata-kata (“Kamu marah karena adik mengambil mainanmu, ya?”).
- Berikan contoh regulasi emosi (orang tua tetap tenang saat konflik).
- Konsisten dengan konsekuensi non-fisik (misal: “Kamu tidak boleh main sampai bisa tenang”).
- Ciptakan lingkungan yang aman secara emosional untuk mengurangi stres anak.
Dengan memahami akar penyebab, orang tua/pendidik dapat merespons secara lebih efektif dan mendukung perkembangan emosional yang sehat.



#marah #memarahi #pukul #memukul #apakahbenar #emosi #todller #trauma #stress