
Insomnia, dari perspektif psikologi, dipahami sebagai gangguan tidur yang tidak hanya melibatkan kesulitan fisik untuk tidur, tetapi juga faktor mental dan emosional yang kompleks. Berikut penjelasan terstruktur berdasarkan sudut pandang psikologis:
Faktor Psikologis yang Berkontribusi:
- Stres dan Kecemasan:
- Stres akut atau kronis mengaktifkan respons “fight-or-flight”, meningkatkan kadar hormon kortisol dan adrenalin, yang mengganggu relaksasi diperlukan untuk tidur.
- Kecemasan tentang kinerja, hubungan, atau masalah kehidupan dapat memicu “overthinking” saat berbaring di tempat tidur.
- Rumitasi: Kecenderungan untuk terus-menerus memikirkan masalah masa lalu atau masa depan tanpa solusi produktif.
- Gangguan Kognitif:
- Keyakinan Negatif tentang Tidur: Misalnya, “Saya pasti tidak bisa tidur malam ini” atau “Jika saya kurang tidur, besok akan kacau”. Keyakinan ini memperparah kecemasan dan memicu lingkaran setan.
- Kewaspadaan Berlebihan: Otak menjadi terlalu sensitif terhadap ancaman (nyata atau imajiner) yang terkait dengan kurang tidur.
- Perilaku Maladaptif:
- Kebiasaan Tidur Buruk: Misalnya, penggunaan gadget sebelum tidur (cahaya biru menghambat melatonin), jadwal tidur tidak konsisten, atau menghabiskan waktu di tempat tidur untuk aktivitas selain tidur.
- Kondisioning Klasik: Tempat tidur menjadi terkait dengan kegelisahan, bukan relaksasi (misalnya, karena sering terjaga di kasur).
- Regulasi Emosi yang Terganggu:
- Kesulitan mengelola emosi negatif (seperti kemarahan, kesedihan) dapat menyebabkan hiperarousal emosional di malam hari.
- Pada individu dengan trauma atau PTSD, mimpi buruk dan kewaspadaan berlebihan (hypervigilance) mengganggu tidur.
- Faktor Kepribadian:
- Neurotisisme: Individu dengan kecenderungan tinggi terhadap emosi negatif (seperti cemas atau mudah marah) lebih rentan insomnia.
- Perfeksionisme: Tekanan untuk mencapai standar tinggi dapat menyebabkan stres kronis dan kesulitan “mematikan” pikiran.
Model Teoritis Psikologis:
- Model Hiperarousal:
Insomnia dipandang sebagai hasil dari peningkatan gairah fisiologis (detak jantung cepat, suhu tubuh tinggi) dan psikologis (pikiran aktif, kecemasan). - Model Kognitif:
Fokus pada peran pikiran intrusif (misalnya, khawatir tentang pekerjaan) dan keyakinan disfungsional tentang tidur yang memperkuat insomnia. - Model Psikofisiologis:
Kombinasi faktor kognitif (pikiran cemas) dan perilaku (kebiasaan buruk) yang saling memperkuat gangguan tidur.
Dampak Psikologis Insomnia:
- Penurunan Fungsi Kognitif: Gangguan konsentrasi, memori, dan pengambilan keputusan.
- Gangguan Mood: Insomnia kronis meningkatkan risiko depresi, kecemasan, dan iritabilitas.
- Siklus Negatif: Kurang tidur → emosi tidak stabil → stres meningkat → insomnia memburuk.
Intervensi Psikologis:
- Cognitive Behavioral Therapy for Insomnia (CBT-I):
- Restriksi Tidur: Membatasi waktu di tempat tidur untuk meningkatkan efisiensi tidur.
- Hygiene Tidur: Modifikasi gaya hidup (misalnya, hindari kafein, ciptakan lingkungan tidur optimal).
- Restrukturisasi Kognitif: Mengubah keyakinan negatif tentang tidur (misalnya, “Saya bisa tetap berfungsi meski kurang tidur”).
- Relaksasi: Teknik pernapasan atau progresif muscle relaxation untuk mengurangi ketegangan.
- Terapi Mindfulness:
Latihan fokus pada saat ini (misalnya, meditasi) untuk mengurangi rumitasi dan kecemasan. - Penanganan Komorbiditas:
Mengatasi gangguan mental yang mendasari (seperti depresi atau PTSD) melalui psikoterapi atau farmakoterapi.
Kesimpulan:
Insomnia dalam psikologi dipahami sebagai interaksi dinamis antara pikiran, emosi, perilaku, dan fisiologi. Pendekatan holistik yang menggabungkan modifikasi kognitif, perilaku, dan regulasi emosi seringkali paling efektif untuk memutus siklus insomnia.



#insomnia #tidur #gangguantidur #konsultasi #psikolog #mariaulfah #susahtidur