Apa Tantrum Dalam Psikologi

Pengertian Tantrum dalam Psikologi

Dalam psikologi, khususnya psikologi perkembangan, tantrum (atau temper tantrum) diartikan sebagai ledakan emosi yang tidak terkendali, biasanya terjadi pada anak usia balita (1-4 tahun). Tantrum merupakan bagian normal dari proses perkembangan anak dan bukanlah pertanda kegagalan pola asuh selama masih dalam batas wajar.

Tantrum terjadi karena adanya kesenjangan yang besar antara keinginan anak dan kemampuannya. Keinginan, emosi, dan kebutuhan mereka sudah ada, tetapi kemampuan bahasa (untuk mengungkapkan), regulasi emosi (untuk mengendalikan), dan keterampilan kognitif (untuk memahami penundaan) mereka masih sangat terbatas.


Penyebab Tantrum dari Sudut Pandang Psikologis

Penyebab tantrum bisa dikategorikan menjadi dua: penyebab internal dan eksternal.

1. Faktor Internal (dalam diri anak)

  • Perkembangan Otak: Bagian otak yang bertanggung jawab untuk regulasi emosi (prefrontal cortex) masih sangat belum matang. Sementara, bagian otak yang terkait dengan emosi primitif (amigdala) sangat dominan. Ketika amigdala “menyala”, anak benar-benar dikuasai oleh emosinya tanpa memiliki alat untuk menenangkan diri.
  • Keterbatasan Bahasa dan Komunikasi: Anak merasa frustrasi karena tidak dapat mengungkapkan apa yang dia inginkan, rasakan, atau butuhkan. Tangisan, jeritan, dan guling-gulingan adalah cara mereka “berbicara” ketika kata-kata tidak ada.
  • Temperamen: Setiap anak memiliki bawaan temperamen yang berbeda. Anak dengan temperamen “sulit” atau sangat aktif mungkin lebih mudah frustrasi dan lebih sering mengalami tantrum.
  • Kondisi Fisik: Lelah, lapar, sakit, atau merasa tidak nyaman (seperti kepanasan) secara signifikan menurunkan ambang toleransi frustrasi anak, membuat mereka lebih rentan mengalami tantrum.

2. Faktor Eksternal (lingkungan)

  • Frustrasi akan Otonomi: Di usia balita, anak mengembangkan rasa kemandirian (“autonomy vs. shame and doubt” – teori Erikson). Mereka ingin melakukan segalanya sendiri dan mengatakan “tidak”. Ketika orang tua melarang atau membantu tanpa diminta, hal ini bisa memicu tantrum.
  • Tuntutan yang Tidak Sesuai: Mengharapkan anak untuk duduk diam dalam waktu lama, bersikap sabar, atau berbagi mainan secara sempurna adalah tuntutan yang seringkali melampaui kemampuan perkembangannya.
  • Lingkungan yang Terlalu Stimulatif: Tempat yang ramai, bising, atau penuh dengan aturan (seperti pusat perbelanjaan) dapat membuat anak kewalahan (sensory overload) dan meledak.
  • Pola Asuh: Kurangnya konsistensi aturan, pola asuh yang terlalu permisif atau otoriter, serta model perilaku dari orang tua (jika orang tua mudah marah, anak mungkin menirunya) dapat mempengaruhi frekuensi dan intensitas tantrum.
  • Perubahan Rutinitas: Anak kecil merasa aman dengan rutinitas yang dapat diprediksi. Perubahan seperti perjalanan jauh, kelahiran saudara, atau mulai sekolah dapat menyebabkan kecemasan yang diekspresikan melalui tantrum.

Jenis-Jenis Tantrum

Ahli seperti Dr. Harvey Karp membedakan dua jenis utama tantrum:

  1. Tantrum Frustrasi (“Little Nero Tantrum”): Ini adalah jenis tantrum yang paling umum. Anak benar-benar kewalahan oleh emosinya sendiri (marah, sedih, kecewa). Dia tidak bisa mengontrol dirinya dan butuh bantuan untuk menenangkan diri.
  2. Tantrum Manipulatif (“King of the Hill Tantrum”): Pada jenis ini, anak sengaja mengamuk untuk menguji batasan dan mendapatkan yang diinginkan (misalnya, permen atau mainan). Dia akan berhenti ketika dapat yang diinginkan atau ketika menyadari taktiknya tidak bekerja.

Membedakan keduanya penting untuk menentukan respons yang tepat.


Bagaimana Menghadapi Tantrum: Strategi Psikologis

Prinsip utamanya adalah membantu anak mengembangkan kemampuan regulasi emosi.

1. Saat Tantrum Sedang Berlangsung:

  • Tetap Tenang: Emosi Anda adalah “rem” atau “bensin” bagi emosi anak. Jika Anda panik atau marah, tantrum akan memburuk. Tarik napas dalam-dalam.
  • Validasi Emosi, Bukan Perilaku: Katakan, “Adek marah karena tidak boleh makan es krim, ya?” atau “Kakak kecewa sekali mainannya harus berhenti.” Validasi membuat anak merasa dipahami, yang merupakan langkah pertama untuk menenangkan diri. Jangan membentak atau mengolok-olok.
  • Jangan Negosiasi atau Nasehati: Di puncak tantrum, anak tidak dapat mendengar logika. Menasehati atau mengancam saat ini akan sia-sia.
  • Tawarkan Kehadiran dan Sentuhan (jika diterima): Beberapa anak akan tenang dengan pelukan. Yang lainnya mungkin menolak sentuhan. Anda bisa mengatakan, “Ibu di sini ya, kalau kamu butuh pelukan.” Jangan paksa pelukan jika dia menolak.
  • Abaikan untuk Tantrum Manipulatif: Jika Anda yakin ini adalah tantrum untuk memanipulasi, abaikan dengan tetap mengawasi. Pastikan anak berada di lingkungan yang aman. Ketika anak melihat “pertunjukannya” tidak menarik perhatian, dia akan berhenti.
  • Jaga Keselamatan: Jika anak membahayakan diri sendiri atau orang lain (membenturkan kepala, memukul), peluk dia dari belakang dengan lembut untuk menahannya hingga tenang.

2. Pasca-Tantrum:

  • Koneksi Kembali: Setelah anak tenang, peluk dia. Koneksi emosional ini sangat penting untuk memulihkan rasa amannya.
  • Ajarkan Kosa Kata Emosi: Bantu anak memberi nama pada perasaannya. “Tadi kamu merasa sangat marah, ya?” Ini membantu otaknya membangun jalur saraf untuk mengenali emosi.
  • Ajarkan Solusi: Untuk anak yang lebih besar, ajarkan cara mengekspresikan emosi dengan tepat. “Lain kali, kalau marah, kita bisa tarik napas dalam-dalam, atau memukul bantal, bilang sama Ibu kalau kamu marah.”

3. Pencegahan (Preventif):

  • Penuhi Kebutuhan Dasar: Pastikan anak tidak lelah atau lapar saat diajak beraktivitas.
  • Beri Pilihan: Beri anak rasa kontrol dengan pilihan sederhana. “Mau pakai baju merah atau biru?” daripada “Pakai bajunya!”
  • Beri Peringatan Transisi: “5 menit lagi kita harus pulang dari taman ya,” membantu anak bersiap secara mental.
  • Jadwal yang Konsisten: Rutinitas membuat dunia terasa lebih terprediksi dan aman bagi anak.
  • Ajarkan dan Contohkan Regulasi Emosi: Tunjukkan pada anak bagaimana Anda menangani kekecewaan dengan tenang. Anda adalah model utama mereka.

Kapan Perlu Khawatir dan Mencari Bantuan Profesional?

Tantrum adalah hal normal, namun waspadai tanda-tanda berikut:

  • Tantrum terjadi sangat sering (beberapa kali sehari, hampir setiap hari) dan berlangsung sangat lama (lebih dari 15-25 menit).
  • Anak sering menyakiti diri sendiri atau orang lain secara serius (menggigit, memukul, membenturkan kepala hingga berbahaya).
  • Tantrum masih sering terjadi setelah usia 5 tahun.
  • Anak sulit sekali ditenangkan dan sering mengalami breath-holding spells (menahan napas hingga biru/pingsan).
  • Disertai dengan gejala lain seperti regresi (mengompol lagi), gangguan tidur atau makan, dan kecemasan berlebihan.

Jika tanda-tanda ini ada, konsultasikan dengan psikolog anak atau psikiater anak untuk mengevaluasi apakah ada masalah lain seperti gangguan pemrosesan sensorik, ADHD, kecemasan, atau gangguan perilaku lainnya.

Kesimpulan

Dari kacamata psikologi, tantrum bukanlah aksi “anak nakal” melainkan sebuah ekspresi dari ketidakmampuan mengatasi emosi yang kuat. Peran orang tua adalah menjadi “pelatih otak” yang sabar, yang membantu anak melalui badai emosinya dan, secara bertahap, mengajarkannya keterampilan hidup yang sangat berharga: mengenali, memahami, dan mengelola emosinya sendiri.

#tantrum #marah #nakal #sedih

Share

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *